KUPANG, bmr.intainews.id- Kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh seorang lansia dengan inisial EB, di Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Keluarga korban menyebut kasus ini telah berlarut-larut tanpa kejelasan, meskipun laporan resmi telah dilayangkan sejak 11 November 2024 lalu.
Korban yang saat kejadian masih berusia 15 tahun diketahui hamil lima bulan lebih setelah orang tuanya melihat adanya perubahan fisik mencurigakan pada tubuhnya, seperti kaki yang membengkak dan wajah menguning.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah diperiksa di RSU Soe, dokter menyatakan korban tengah mengandung. Kepada orang tuanya, korban mengaku telah disetubuhi oleh EB.
Setelah laporan dibuat di Polres Kupang, pihak keluarga mengaku telah mengikuti semua proses hukum, termasuk visum di RS Bhayangkara dan pemeriksaan saksi-saksi.
Namun, penanganan kasus berjalan sangat lambat dan penuh ketidakpastian. Hingga Januari 2025, tidak ada kemajuan berarti dari penyidik. Bahkan, pelaku belum juga dipanggil secara resmi hingga keluarga korban mendesak berkali-kali.
“Sampai sekarang pelaku masih bebas. Polisi alasan hujan lah, ini lah, itu lah. Masa kami yang harus cari pelaku?” ungkap Debora, ibu korban, dengan nada kecewa saat menggelar aksi protes di depan Mapolres Kupang, Selasa (15/4/2025).
Debora juga mempertanyakan mengapa pelaku diberi surat undangan klarifikasi hingga tiga kali tanpa ada sanksi meski tak menghadap.
“Padahal menurut KUHAP, jika dua kali panggilan resmi tidak diindahkan, penyidik bisa menjemput paksa,” ujarnya.
Menurutnya, karena lambannya proses hukum ini, keluarga korban akhirnya mengadukan perkara tersebut ke Ombudsman RI pada 14 Februari 2025.
Setelah pengaduan itu, barulah Polres Kupang mulai menunjukkan sedikit gerakan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 7 Maret 2025 dan meningkatkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan.
Ironisnya, hari itu juga menjadi hari di mana korban harus menjalani operasi caesar untuk melahirkan bayi dari hasil perbuatan pelaku.
Selain itu, polisi sempat mengeluarkan surat perintah membawa paksa setelah pelaku mangkir dari panggilan kedua. Namun, saat upaya penjemputan dilakukan pada 26 Maret 2025.
Namun pelaku tak ditemukan di kediamannya di Desa Noelmina, Takari. Hingga berita ini diturunkan, terduga pelaku masih buron dan tidak diketahui keberadaannya.
Debora menyuarakan kekecewaannya karena merasa aparat tidak serius menangani kasus ini. Ia bahkan menuding adanya dugaan diskriminasi dalam penegakan hukum.
“Apakah karena kami orang kecil? Apakah karena kami tidak punya uang? Kalau tidak mampu tangkap pelaku, jangan jadi polisi,” tegasnya.
Menanggapi kondisi ini, Aliansi Peduli Keadilan (APK) menyatakan sikap dan tuntutan sebagai berikut:
-
Mendesak Polres Kupang untuk menetapkan EB sebagai tersangka dalam waktu 1×24 jam.
-
Menuntut pencopotan penyidik PPA, Humas, dan Kasat Reskrim Polres Kupang karena dianggap gagal menjalankan tugas.
-
Meminta transparansi dalam penanganan kasus dari pihak kepolisian.
-
Mendesak adanya pemulihan psikologis bagi korban.
-
Menuntut evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Kupang.
APK menegaskan bahwa penegakan hukum harus dijalankan tanpa diskriminasi dan berdasarkan rasa keadilan, terutama bagi korban anak di bawah umur yang rentan secara fisik maupun psikologis.
Hingga berita ini di tayangkan, belum ada keterangan resmi dari Polres Kupang terkait perkembangan terbaru dalam penyidikan kasus ini.
Keluarga korban dan sejumlah pihak masyarakat sipil menyatakan akan terus mengawal proses hukum agar pelaku dapat segera ditangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku.***
Penulis : DJOHANES JULIUS BENTAH
Editor : NuBu










